Bikin Heboh Warga Jakarta

Santai di Pantai Pasir Putih Pulau Reklamasi

Merdeka.com 2021-06-21 04:15:00
Pasir putih buatan di utara Jakarta. ©2021 Merdeka.com/Arie Basuki

Hamparan pasir putih membentang hingga 4 km di kawasan pesisir Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta Utara. Lokasi ini destinasi baru bagi warga Jakarta dan sekitarnya untuk berlibur.

Pantai buatan ini dibuka tahun 2020 lalu. Meski baru, cukup dikenal warga dan saban hari ramai pengunjung menghabisi akhir pekan.

Dulu, pantai pasir putih ini memiliki nama Pulau C. Pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta dengan pemegang izin PT Kapuk Naga Indah, salah satu anak perusahaan PT Agung Sedayu Group.

Ombaknya tenang. Hamparan pasir putih terasa lembut di kulit. Tak heran jika para pengunjung saban titik berhenti untuk swafoto.

Di sana, pengunjung bisa bersepeda santai atau jogging di sekitarnya. Atas sekadar duduk dan piknik kecil bersama keluarga.

Felli, salah satu pelancong, berbagi cerita saat wisata ke pantai buatan tersebut dengan pasir putih tersebut.

Menurutnya, pengunjung area pantai tidak dipungut biaya alias gratis. Hanya saja, bagi yang membawa kendaraan baik roda dua atau roda empat akan dikenakan biaya parkir.

Felli kala itu berkunjung akhir pekan lalu. Menurutnya, saat itu tidak terlalu banyak pengunjung. "Karena pagi, jadi nggak terlalu ramai," katanya.

Untuk fasilitas, kata dia, cukup memadai mulai dari toilet umum, food court. Sayangnya, masih ditemukan sampah, karena banyak pengunjung yang berpiknik dengan membawa makanannya sendiri tetapi kurang sadar menjaga kebersihan.

"Masih banyak sampah. Tapi sering dibersihkan petugas sana," ujar Felli.

Di pantai itu juga terdapat dermaga yang bisa dicapai dengan menuruni anak tangga. Di sana, pengunjung bisa berduduk santai sambil menikmati luasnya laut dan semilir angin.

Pantai pasir putih ini bisa menjadi pilihan untuk mengajak keluarga refresing dan menghilangkan kebosanan akibat pandemi Covid-19. Namun tetap menjaga protokol kesehatan.

Jalan Bertumpuk Jakarta, di Mana Saja?

Lanskap Jalan Melayang dalam Wajah Jakarta

Merdeka.com 2021-06-21 00:28:00
Uji Coba Flyover Cakung. ©2021 Merdeka.com/Iqbal S Nugroho

Tahun ini, Ibu Kota Jakarta akan genap berusia 494 tahun. Roda pembangunan bergerak cepat mengikuti putaran zaman. Menyesuaikan keadaan. Jakarta terus berbenah. Salah satunya untuk keluar dari persoalan kemacetan di jalanan.

Pembangunan jalan layang digencarkan. Sejauh ini tercatat, di Jakarta terdapat 77 jalan layang tersebar di lima wilayah. Proyek jalan layang pertama kali dibangun di Jalan Raya Tomang, Jakarta Barat. Jalan layang itu dibangun 1972 dan selesai pada 1975. Lalu di tahun yang sama juga dibangun jembatan layang Latuhari (sisi timur), yang menghubungkan Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat.

Terbaru, jalan layang di Lenteng Agung. Dua jalan layang berdiri gagah. Berbentuk tapal kuda tepat di seberang Kampus IISIP Jakarta. Bangunan di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, mulai banyak digunakan pengguna jalan.

Kehadiran jalan layang tapal kuda Lenteng Agung menyisipkan harapan. Kemacetan selama ini akibat lintasan KRL commuter rute Bogor-Jakarta, bisa segera terurai. Di samping masalah keselamatan guna menghindari kecelakaan antara kereta dengan kendaraan umum maupun warga.

Jalan layang tapal kuda itu kini jadi primadona warga Lenteng Agung dan sekitarnya. Ditambah adanya beutifikasi dilakukan Pemprov DKI Jakarta dengan mewarnai atap rumah warga bergambar ondel-ondel di sekitar lokasi. Tentu menambah daya tarik tersendiri.

Bagi pengguna kendaraan pribadi, kehadiran jalan layang tapal kuda ini dirasa sangat memudahkan. Masih teringat jelas di benak Triswanto, 25 tahun, ketika harus berjibaku melawan kemacetan untuk menyeberangi perlintasan KRL di Lenteng Agung.

Karyawan swasta itu sehari-hari menggunakan kendaraan sedan roda empat. Lokasi kerja di kawasan BSD, Tangerang Selatan, membuatnya lebih senang memakai kendaraan pribadi. Dari kediamannya di Jalan Joe, Lenteng Agung, memang lebih sedikit kemacetan untuk menuju Tol JORR di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan. Namun perasaan jengkel datang ketika kembali pulang.

Setelah keluar Tol Tanjung Barat, Triswanto langsung mengarahkan kendaraannya menuju Jalan Raya Lenteng Agung arah Depok. Di waktu pulang kerja, kemacetan sudah dirasakan dari Stasiun KRL Tanjung Barat. Butuh waktu lebih dari 1 jam untuk bisa menembus kemacetan dan berputar balik di perlintasan kereta seberang Kampus IISIP Jakarta.

"Melelahkan sekali harus melewati kemacetan jalur maut ini," ungkap dia memberi julukan jalur tersebut ketika berbincang dengan merdeka.com, beberapa waktu lalu.

Pembangunan jalan layang tapal kuda Lenteng Agung ini berjalan berbarengan dengan proyek serupa di perlintasan KRL Tanjung Barat. Pembangunan tersebut berdasarkan lelang dimenangkan PT Jakon untuk jalan layan Tanjung Barat. Sedangkan PT PP untuk jalan layang Lenteng Agung.

Proyek pembangunan kedua jalan layang tersebut menggunakan anggaran APBD DKI sebesar Rp 140,8 miliar. Untuk jalan layang Lenteng Agung memiliki panjang 430 meter di sisi barat dan 450 meter di sisi timur. Sedangkan jalan layang Tanjung Barat memiliki panjang sisi barat mencapai 540 meter dan sisi timur 590 meter.

Meluncur menaiki jalan layang non tol (JLNT) terpanjang milik Pemprov Jakarta. Jalan sepanjang 5 kilometer memang dikhususkan bagi pengendara roda empat atau lebih.

Jalan layang dari seberang Terminal Blok M itu terus mengarah hingga ujung Jalan Antasari, Jakarta Selatan. Untuk JLNT Antasari ini menghubungkan jalur Antasari-Blok M, Jakarta pertama kali dikerjakan pada 22 November 2010, dan selesai 15 Desember 2012. Bangunan ini memang dirancang khusus roda empat. Setidaknya ada dua JLNT lain di Jakarta. Di antaranya JLNT Kampung Melayu-Tanah Abang dan JLNT Daan Mogot.

Benarkah pembangunan jalan layang efektif menekan angka kemacetan? Hasil riset TomTom Traffic Index menyebutkan Jakarta kini masuk urutan ke 31 dari 416 kota termacet di dunia. Hasil ini tentu membuat ibu kota negara ini keluar dari 10 besar kota termacet.

Kemacetan di DKI Jakarta memang masih menjadi masalah yang tidak pernah kelar. Banyak faktor memengaruhi. Salah satunya, yakni mobilitas tinggi masyarakat Jakarta dan sekitar daerah penyangga. Akibatnya jumlah kendaraan meningkat 8 persen per tahun, sedangkan penambahan ruas jalan hanya 0,01 persen per tahun.

Sekitar 7,3 juta kendaraan berebut 42,3 km persegi luas jalan dalam setiap harinya. Sebanyak 7,25 juta atau 98,8 persen dari jumlah ini adalah kendaraan pribadi. Berbagai solusi telah diterapkan, mulai dari wacana jalan berbayar, penerapan ganjil genap, dan transportasi masal. Lalu kini diperbanyak pembangunan jalan layang.

Serasa di Luar Negeri

Hutan Kota di Jantung Jakarta

Merdeka.com 2021-06-21 09:57:51
Hutan Kota GBK. ©Liputan6.com/Herman Zakharia

Hidup di Jakarta dengan aktivitas menggunakan kendaraan yang tinggi menyebabkan polusi udara. Tak jarang ruang terbuka hijau menjadi dambaan bagi warga Ibu Kota untuk sekadar melepas lelah dan menghirup udara bersih dan segar.

Kini hadir hutan kota di kawasan Gelora Bung Karno (GBK) Senayan. Sebagai alternatif warga Jakarta menikmati hawa sejuk hutan di tengah kebisingan kota Jakarta. Hutan Kota GBK sengaja dibangun sebagai ruang terbuka hijau, paru-paru kota, dan lahan konservasi di kota Jakarta.

Luas hutan kota di kawasan GBK ini mencapai 4,5 hektare dengan pembagian 1,3 hektare dikelola Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPKGBK). Sedangkan luas 3,2 hektare dikelola oleh Plataran Indonesia. Sebelumnya Hutan Kota GBK adalah lahan lapangan golf Driving Range di GBK.

Untuk berkunjung ke hutan kota ini, bisa masuk dari berbagai pintu. Namun, banyak pengunjung khususnya yang berjalan kaki banyak yang masuk dari FX Sudirman atau seberang Pacific Place dinilai lebih dekat ke Hutan Kota GBK.

Saat memasuki hutan kota ini, mata akan dimanjakan dengan hamparan rumput dan pohon-pohon. Semua terlihat hijau sangat memukau. Waktu untuk berkunjung yakni dari jam 06.00-10.00 WIB dan Jam 15.00-18.00 WIB.

Sebagian dari pengunjung khususnya keluarga yang membawa anak-anak biasanya membawa alas duduk untuk bersantai dan menikmati hutan kota ini. Jadi sangat cocok untuk piknik, di tengah kota tetapi masih di jantung Kota Jakarta. Terlebih di tengah pandemi, hutan kota menjadi alternatif berlibur.

Sambil duduk-duduk di atas rumput, pengunjung bisa menikmati panorama gedung-gedung pencakar langit di seberangnya. Menambah kesan sejuk, di tengah hutan kota ini dibangun kolam.

Bukan sekedar ruang terbuka hijau, Hutan Kota GBK kini menjadi tempat 'nongkrong' baru anak muda di Jakarta. Karena sangat cocok bagi mereka yang gemar berfoto karena sangat instagramable.

"Saya ke sini gara-gara viral. Abis olahraga di GBK, terus ke sini buat foto-foto sama teman. Keren sih, ada taman tapi pemandangan gedung-gedung tinggi," kata Putri, yang ditemui merdeka.com.

Bagi pembaca merdeka yang ini berkunjung, tetap menjaga protokol kesehatan dan menjaga kebersihan di area Hutan Kota GBK.

Ruang Terbuka Hijau Ramah Anak

Selain itu, Pemprov DKI juga terus berupaya menciptakan ruang terbuka hijau khususnya ramah anak. Oleh karena itu, Pemprov DKI Jakarta terus mendirikan dan mengembangkan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di berbagai wilayah Jakarta.

Dilansir dari situs Pemprov DKI, Pemprov DKI telah mendirikan 296 RPTRA yang terdapat di setiap kecamatan. Jumlah tersebut sudah melampaui target yang awalnya berjumlah 267. Dari angka tersebut, sejumlah 228 unit RPTRA dibangun dengan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sementara 68 unit dibangun dengan menggunakan sumbangan dana Corporate Social Responsibility (CSR).

Sebagai ruang yang ramah anak, RPTRA menyediakan berbagai fasilitas bermain yang terbuat dari bahan plastik dan metal khusus dengan mengutamakan keamanan, seperti perosotan, ayunan, jungkat-jungkit, serta permainan lainnya.

Selain fasilitas bermain, tersedia pula lapangan futsal dan badminton sebagai ruang berolahraga anak. Fasilitas-fasilitas dalam RPTRA tidak hanya ramah anak, namun juga ramah penyandang disabilitas.

Jangan Dikira Jakarta Serba Enak

Jakarta Sesak Dalam Kepadatan

Merdeka.com 2021-02-01 10:57:19
Kepadatan penduduk Jakarta. ©2016 merdeka.com/arie basuki

Deru sepeda motor menarik perhatian sekumpulan warga asyik bercengkrama di gang selebar 1,5 meter. Mereka bergegas bangun. Kemudian menggeser kursi untuk menyingkir sejenak memberi jalan. Mengucapkan kata "permisi" dan "maaf", kendaraan roda dua itu melaju di antara kumpulan warga. Obrolan pagi mereka memang sedikit terganggu. Tapi tidak ada rasa amarah, melainkan balasan senyum merekah.

Perkampungan itu begitu padat. Lokasinya berada di wilayah barat Jakarta. Jalan gang hanya cukup dilalui satu motor. Bila berpapasan maka pengendara harus bergantian menunggu giliran. Jangan berharap bisa melaju di atas 40Km/jam. Kemungkinan besar bisa jadi sasaran amukan warga.

Kurang lebih begitu gambaran kampung paling padat di DKI Jakarta. Namanya Kalianyar. Begitulah nama Kelurahan di sisi Banjir Kanal Barat itu. Secara administrasi masuk dalam wilayah Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.

Jalan Gang di Jakarta ©2021 Merdeka.com

Memasuki perkampungan itu, seketika kami disambut deretan rumah beraneka warna. Tembok-temboknya menjulang. Ukurannya tak begitu luas. Satu rumah rata-rata dua lantai bahkan lebih. Tak jarang tiap lantai diisi keluarga yang berbeda. Bahkan tak ada jarak antara rumah satu dengan lainnya. Begitu juga dengan jalan yang membentang di depannya. Sebagian rumah memang bibir pintunya langsung berciuman dengan jalan.

Jalan gang di Kalianyar memang tak begitu luas. Selain menjadi penghubung, jalan gang itu tempat masyarakat beraktivitas. Sebagian menjadi tempat usaha, seperti warung rokok dan warung makan. Ada juga warga memanfaatkan sebagai area parkir kendaraan. Beberapa bagian jalan malah tak dapat ditembus sinar matahari lantaran terhalang atap warung maupun rumah.

Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta, per 31 Juni 2020, luas lahan DKI Jakarta sebesar 662.33 km2. Dengan total sebanyak 11.105.309 jiwa. Adapun tingkat kepadatan mencapai 16.767 jiwa per kilometer.

Kelurahan Kalianyar menduduki posisi puncak wilayah paling padat di DKI Jakarta dengan tingkat kepadatan mencapai 95.191 jiwa per km2. Tercatat ada 52.230 jiwa yang mendiami 2,29 km2 luas lahan kelurahan tersebut. Angka kepadatan ini sekitar 5 kali lipat angka kepadatan DKI Jakarta.

Kepadatan di Kalianyar memang tampak nyata. Ini bisa dilihat dari sebuah rumah berukuran 3x3 meter persegi dan memiliki tiga lantai, bisa dihuni 15-20 jiwa. Tiap lantai memiliki kepala keluarga. "Bayangkan kepadatannya," kata Lurah Kalianyar Daniel Azka Alfarobi saat ditemui merdeka.com di kantor, Jumat pekan lalu.

Tingkat kepadatan di Kalianyar tidak terjadi sekejap. Ada cerita panjang terjalin dari dulu hingga kini. Tiap perkembangan wilayah tersebut samar-samar terekam di benak Slamet, salah seorang tetua di Kalianyar. Pria kelahiran tahun 1965, itu mengaku merupakan generasi kedua yang menempati Kalianyar.

Slamet dan keluarga diboyong sang Ayah. Kapan persisnya waktu kepindahan mereka sekeluarga tidak diingat persis. Namun yang pasti, kala itu Kalianyar masih berupa rawa dengan jumlah penduduk masih jarang. Antara rumah satu dengan lainnya cukup berjauhan. Tiap rumah bahkan masih memiliki halaman. Tanah kosong pun masih luas. "Contohnya dari rumah saya, baru ada rumah lagi jaraknya bisa 15 meter. Sekarang terasa sesak banyak orang dan rumah" kata Slamet kepada merdeka.com.

Seiring perkembangan zaman, Slamet merasakan betul geliat pembangunan di Kalianyar. Menyaksikan perkampungan tersebut berubah dan kian ramai penduduknya. Dia melihat bagaimana jalan-jalan tanah tempat bermain menjelma jalan aspal. Pun tiap rumah sederhana berubah bangunan tembok, lalu tinggi menjulang.

Sebagai tetua di wilayah itu, dia merasakan perubahan perilaku dari bepergian dengan menggunakan obor sebagai penerang hingga kini Kalianyar diterangi listrik. Bahkan sekitar tahun 1970an, mulai dibangun jalan dan rumah-rumah marak dibangun. "Memang enggak langsung pesat. Sekitar 1980-an barulah orang-orang mulai ramai," ujar dia.

Harus diakui wilayah Kalianyar memang menarik para pendatang. Azka selaku lurah, mengungkapkan alasan utama wilayahnya ramai lantaran lokasinya dekat dengan pusat pemerintahan Ibu Kota. Dia menuturkan, jika ditarik garis lurus, maka jarak Kalianyar dengan Istana Merdeka dan Balai Kota Cuma berjarak 5 km.

Kedua, lanjut dia, selama ini Kalianyar merupakan salah satu daerah aman dari banjir. Meskipun letaknya yang persis berada di sisi Banjir Kanal Barat. Hal ini juga menarik orang datang. Tidak saja untuk tinggal, melainkan juga untuk menjalankan bisnis.

"Kalau di sini orang berlomba-lomba buka usaha konveksinya. Kata orang, secara feng shui bagus. Bentuk kepala naga ada," ungkap dia. Walau menarik bagi sektor usaha, kepadatan di Kalianyar juga memiliki sejumlah tantangan. Salah satunya terkait dengan rentannya wilayah tersebut terhadap konflik sosial.

Infografis kepadatan Jakarta ©2021 Merdeka.com


Tanah Rawa Berubah Gedung

Setiap wilayah di DKI Jakarta memiliki wilayah padat penduduknya masing-masing. Kota Jakarta Timur punya Kelurahan kampung Melayu, Kecamatan Jatinegara. Per Semester I 2020, jumlah penduduk Kampung Melayu tercatat sebanyak 8.645 dengan luas lahan 0,81 km2. Adapun tingkat kepadatannya mencapai 66.954 jiwa per km2.

Lurah Kampung Melayu Setiawan menjelaskan, kepadatan penduduk di wilayahnya merupakan suatu keniscayaan. Bagaimana tidak, setiap tahun jumlah penduduk yang merupakan penduduk asli Kampung Melayu terus bertambah, sedangkan jarang sekali ada penduduk yang pindah.

Umumnya warga Kampung Melayu cenderung tetap tinggal. Hal ini merupakan faktor dominan yang menyebabkan naiknya jumlah penduduknya, dibandingkan ada warga yang baru masuk. "Penduduk terus bertambah, sedangkan lahan kan tetap," jelas dia, kepada Merdeka.com.

Pak Otran, demikian dia akrab disapa merupakan salah satu warga yang sudah lama menetap di Kampung Melayu. Pria kelahiran tahun 1964 ini mengaku seluruh keluarganya lahir, tumbuh, dan menetap di Kampung Melayu. Dia ingat betul gambaran Kampung Melayu di masa kecil. Perubahan lanskap memang tidak dapat dielakkan demi memenuhi kebutuhan ruang hidup warganya.

Masih tergurat jelas dalam benaknya berbagai kenangan tentang Kampung Melayu yang penuh dengan kebun. Lahan-lahan kosong itu kemudian berangsur-angsur terkikis. Berganti bangunan benton. Beberapa dijadikan untuk lokasi pendidikan. "Kayak gedung SD. Dulu ini lapangan. Kita dulu sering main bola di sini," ungkap Otran saat ditemui pekan lalu. Memang kami bertemu di halaman sebuah sekolah dasar yang baru selesai dibangun.

Bergeser ke arah Jakarta Utara, wilayah paling padat terdapat berada di Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing. Kelurahan dengan luas 2,28 km2 tersebut dihuni oleh 66.633 jiwa. Tingkat kepadatannya 54.660 jiwa per km2.

Perjalanan kami ke kelurahan tersebut membawa kami berjumpa Nani, atau kerap disapa ‘Eyang Nani’ oleh warga sekitar. Sapaan tersebut cukup beralasan. Lantaran perempuan berusia 70 tahun tersebut merupakan salah satu dari empat orang yang mendiami salah satu bagian di Kelurahan Tersebut.

Pertama kali dia tiba di Semper Barat tahun 1992, lahan yang bakal menjadi rumahnya masih berupa rawa. Kala itu, baru ada empat keluarga yang mantap membangun rumah di situ. Awal-awal kehidupan cukup penuh tantangan. Mereka harus membuat titian dari kayu agar tak perlu langsung menginjak rawa saat melintas.

Selain itu, listrik pun belum dialirkan ke rumah-rumah mereka. Saat itu, untuk menerangi malam-malam mereka, kelompok kecil itu mengandalkan pijar lampu sorot yang berasal dari Kawasan Berikat Nusantara (KBN). Sampai akhirnya mereka mampu membeli tiang listrik sebagai modal untuk mendapat pasokan listrik.

Lambat laun, permukiman tersebut kian padat. Pendatang baru berbondong-bondong membeli lahan dan membangun hunian. Dia mengaku tak tahu pasti apa alasannya. Dia hanya bisa menduga-duga. Bisa jadi, lanjut dia, alasan orang-orang ramai datang karena situasinya yang kondusif.

"Alasan kenapa ramai, enggak tau juga. Mungkin senang ya di sini. Soalnya di sini saling bersatu. Siapapun kita saling tolong," ungkap Eyang Nani kepada merdeka.com.

Di sekitar rumah Eyang Nani memang terpantau padat bangunan. Hanya ada lorong-lorong kecil dengan lebar sekitar 1 hingga 1,5 meter. Lorong yang terbuat dari semen ini menjadi penghubung antara rumah yang satu dengan rumah yang lain. Dia mengakui, kini lahan yang dulu rawa itu mulai penuh diisi. Cuma beberapa bidang saja yang belum menemukan penghuninya.

Naiknya jumlah penduduk dan bangunan, tentu berdampak berkurangnya daerah resapan air. Ketika hujan datang, dia dan para tetangga menjadi langganan banjir. Meskipun banjir yang terjadi tidak begitu parah, tapi cukup menghambat aktivitas.

"Dulu pas masih rawa enggak banjir. Kalau sekarang banyak rumah, selalu terjadi banjir. Karena eggak ada penyerapan," ujarnya sambil menunjuk dipan setinggi hampir 1 meter sebagai penanda tinggi air yang masuk ke rumahnya.

Dari utara Jakarta, kami langsung melaju kendaraan roda dua mengarah ke selatan Jakarta. Wilayah ini memiliki Kelurahan Manggarai Selatan, Kecamatan Tebet, menjadi wilayah paling padat di Jakarta Selatan. Luas lahan Manggarai Selatan tercatat sebesar 4,50 persegi dengan jumlah penduduk 80.961. Tingkat kepadatannya 55.289.

Dari cerita salah satu warga, Basyuni, diketahui dulunya kawasan Manggarai Selatan berdiri di atas rawa. Hal inilah yang dia duga menjadi salah satu pendorong orang-orang datang. Lahan rawa inilah membuat harganya kala itu lebih terjangkau.

Dia enggan bercerita banyak tentang masa lalu kelurahan tempat dia tinggal. Hanya saja dia mengakui terjadi perubahan dari sisi lanskap dan kepemilikan lahan di Manggarai Selatan. "Ini dulu haknya orang Betawi. Sekarang dikuasai orang daerah lain," katanya sambil menunjukkan sebuah rumah.

Kepadatan penduduk, kata dia, menjadi lahan yang cukup subur bagi terjadinya konflik di tengah masyarakat. Wilayah itu terkenal sebagai tempat yang kerap terjadi tawuran antarwarga. Hal tersebut membuat munculnya pandangan buruk terhadap warga yang tinggal di Manggarai Selatan. "Dulu, kalau kita lamar kerja, kayak di mall, ditanya tinggal di mana, jawab di Manggarai Selatan. Bisa enggak diterima," ungkap dia.

Perkara kepadatan, dia berpandangan, pemerintah seharusnya punya rencana tata kota yang baik. Biar masyarakat tak asal membangun hunian. Sebab selain bisa menimbulkan kepadatan, juga memberikan pemandangan yang kurang bagus dari sisi estetika. "Orang ada tanah sepotong, dia bangun saja. Kadang enggak jelas juga mau menghadap ke mana. Harus diatur."

Beres mendatangi lokasi terpadat di Jakarta Selatan, kami pun menuju wilayah Jakarta Pusat. Di sini Kelurahan Kampung Rawa, Kecamatan Johar Baru, menjadi daerah terpadat. Luas wilayah Kampung Rawa sebesar 0,63 km2 dengan jumlah penduduk 23.153 jiwa. Adapun tingkat kepadatan 90.966 jiwa per km2.

Taufikurahman, salah seorang warga mengaku perubahan adanya perubahan cukup mendasar dari wilayah tempat dia tinggal. Ketika mulai tinggal di Kampung Rawa pada, masih belum banyak rumah. Rumah pun masih dibangun dari bahan kayu. Suasana pun masih sepi. Setiap malam dia dan warga masih menggunakan lampu petromak sebagai penerang. Lantaran belum dialiri listrik. "Belum banyak rumah masih bisa dihitung jari lah," ungkap Taufikurahman.

Kini kepadatan rumah di wilayah Johar Baru hampir sama dengan perkampungan padat lainnya. Lurah Kampung Rawa Ferry Zahrudin, menyebut bahwa sejak dulu memang wilayah dia pimpin merupakan menjadi paling padat di Jakarta Pusat.

Di masa lampau, memang sempat terjadi zaman kelam. Banyak warga kerap berkonflik hingga berujung tawuran. Seiring perkembangan, ada perubahan positif dalam kondisi masyarakat, yakni tidak lagi ditemukannya konflik antarwarga. "Sekarang sudah tidak ada tawuran," ungkap Ferry.

Kepadatan di Jakarta memang menjadi sorotan bagi Pemprov DKI. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyampaikan, berdasarkan hasil pendataan Pemerintah Provinsi DKI pada 2019, kepadatan Jakarta mencapai 118 kali lipat dari angka rata-rata nasional. Atau setara dengan 118 kali lipat bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk Indonesia yang hanya 141 jiwa persegi hasil proyeksi penduduk tahun 2020 dibagi dengan luas daratan Indonesia.

Di mana luas DKI Jakarta sekitar 662,33 kilometer persegi. Jumlah penduduknya hingga tahun 2019 mencapai 11.063.324 jiwa. Termasuk di dalamnya Warga Negara Asing (WNA) sebanyak 4.380 jiwa. Kepadatan penduduk DKI Jakarta saat ini telah mencapai 16.704 jiwa per kilometer persegi.

"Di tempat ini ada kepadatan, ada kompleksitas, ada masalah informasi tata ruang yang amat kompleks. Karena itu pada 17 Januari 2018, kami meluncurkan sebuah program namanya Jakarta Satu, prinsipnya adalah Satu Peta, Satu Data, Satu Kebijakan, yang mengintegrasikan sehingga semua pengambilan keputusan berdasarkan data," ujar Anies beberapa waktu lalu.

Jakarta bakal terus berkembang. Menjadi lokasi untuk adu nasib maupun mencari peruntungan. Banyak kegagalan dan keberhasilan tercipta di ibu kota negara ini. Tentu saja di balik kemajuan, selalu mengekor masalah kepadatan penduduk. Masalah ini masih terus dicarikan solusi agar DKI Jakarta semakin ideal.

Baca juga:
Penduduk Jakarta Meningkat 954 Ribu Jiwa Tiap Tahun
Data BPS: Jumlah Penduduk Jabar Meningkat, 70 Persen Generasi Z dan Milenial
Per 2020, Penduduk RI Didominasi Generasi Z
Penduduk RI 271,3 Juta per 2020, Jumlah Perempuan Lebih Banyak dari Pria
Kepadatan Penduduk Jakarta Sudah 118 Kali Lipat dari Angka Nasional

Belum Gaul Kalau Tak ke Sini

Blok M, Tempat Nongkrong Anak Muda Jakarta dari Masa ke Masa

Merdeka.com 2021-06-21 05:25:00
M Bloc Space. ©Liputan6.com/Herman Zakharia

Melintas di kawasan Jakarta Selatan, ada satu kawasan yang cukup ternama di kalangan anak-anak muda dan sudah lama menjadi ikon ibu kota. Di masa kejayaannya yakni, di era 1980-1990, Blok M merupakan tempat nongkrong anak muda metropolitan.

Mereka kerap menghabiskan waktu di mal seperti Pasaraya, kawasan Melawai, Blok M Mal hingga kawasan Mayestik. Menurut, Zaenuddin HM, seorang jurnalis, dalam bukunya berjudul "212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doelo" terbitan tahun 2012, kala itu banyak ABG biasa menghabiskan harinya di Kawasan Blok M sejak sore sampai malam hari.

Dari sekedar 'cuci mata', mencari hiburan, berbelanja, hingga konon ada yang mencari cinta. Blok M pada masanya menggambarkan potret sosial remaja Ibu Kota pada era 1980-1990.

Karena terkenalnya Blok M di kalangan anak muda, ada produser yang mengangkat fenomena anak gaul ini ke dalam film berjudul Blok M. Film ini disutradarai oleh Helmy Yahya. Dibintangi Deasy Ratnasari dan Paramitha Rusady.

Dari asal usulnya, nama Blok M diambil dari nama kawasan blok di sekitar Kebayoran. Ada Blok A dan Blok S. Kawasan itu pada awalnya merupakan kompleks perumahan.

Tahun silih berganti, Blok M terus mempercantik diri. Satu hal tidak berubah, masih menjadi kawasan primadona anak muda Jakarta. Ditambah dengan adanya transportasi umum yang mendukung.

Lokasinya pun sangat strategis. Menjadi transit warga dari Jakarta Pusat ke Jakarta Selatan. Terlebih dengan adanya MRT di kawasan itu. Membuat anak muda Jakarta tak meninggalkan Blok M.

Kini ada satu tempat di kawasan tersebut yang jadi tujuan anak muda. Yakni M Bloc Space. Sebuah wadah atau ruang kreatif muda-mudi yang diresmikan pada 26 September 2019.

M Bloc Space terletak di Kompleks rumah dinas Peruri di kawasan Blok M yang sudah puluhan tahun terbengkalai. Rumah bergaya lawas itu berdiri di atas lahan 6.500 meter persegi. Setelah lama tak terpakai, rumah itu dimanfaatkan menjadi ruang kreatif anak-anak muda Jakarta.

Yuza, pengelola M Bloc Space mengatakan tempat itu menyediakan 17 tenant bertemakan vintage. "Ya, kita mau mengembalikan masa-masa Blok M di zaman dulu," kata Yuza.

Kehadiran M Bloc Space bisa dimanfaatkan para perajin lokal untuk memamerkan produk mereka. Selain itu, tempat ini juga menyediakan hiburan musik. Sehingga pengunjung bisa menikmati suasana dengan santai dan tak membosankan.

Beberapa sudut tembok terdapat lukisan mural yang bisa dimanfaatkan untuk berfoto. Selain itu, berjejer kafe yang cocok untuk nongkrong bersama teman-teman.

Jangan lupakan makanan kaki lima, bernama gultik atau gulai tikungan. Tempat ini masih menjadi referensi anak muda Jakarta menikmati makanan dengan harga terjangkau.

Dengan segala perbaikan dan fasilitas yang mendukung, kawasan Blok M masih menjadi pilihan anak muda Jakarta menghabiskan waktunya.

Sisi Kelam Ibu Kota

Potret Kejahatan di Ibu Kota

Merdeka.com 2021-06-21 01:58:40
Polisi gerebek Kampung Ambon. ©2021 Merdeka.com

Jakarta menjadi impian orang dari penjuru daerah mengadu nasib. Sayangnya tidak semua bernasib baik, meski banyak gedung perkantoran berdiri kokoh mencakar langit.

Sebagai tujuan kaum urban, masalah sosial pun kerap melanda Jakarta. Salah satunya angka kejahatan.

Menurut pengamat tata kota, Yayat Supriatna, pelbagai faktor menyebabkan tingkat kriminalitas atau kejahatan terjadi di ibu kota. Salah satunya faktor ekonomi. Terlebih saat pandemi Covid-19, banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan sehingga tidak memiliki penghasilan. Sehingga banyak dari mereka yang memilih jalan pintas untuk mencari uang.

Selain faktor ekonomi, kata Yayat, lingkungan turut berperan dalam terjadinya kriminalitas di Jakarta. Situasi ekonomi yang menurun saat ini membuat orang sangat mudah diajak melakukan tindak kejahatan.

"Banyak orang ingin cepat mudah dapat uang yang gampang atau ingin dapat uang," kata Yayat.

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta mencatat terdapat 8.112 kasus kejahatan dan pelanggaran yang terjadi di wilayah DKI Jakarta selama tahun 2020. Jenis kejahatannya beragam. Mulai dari pembunuhan, pencurian sampai narkotika.

Pertama di Kepulauan Seribu. Tingkat kriminalitas di wilayah berpenduduk 29.100 ini tercatat terjadi 101 kasus kejahatan selama tahun 2020.

Masalah narkotika menjadi yang mendominasi dengan 93 kasus. Pencurian dengan pemberatan menjadi kasus dengan tingkatan terbanyak kedua dengan 6 kali disusul penganiayaan berat dan pencurian biasa yang sama-sama menyumbang 1 kasus.

Penyalahgunaan narkotika juga menjadi kasus paling menonjol di wilayah Jakarta Selatan dari 1.761 angka kriminalitas selama tahun 2020. BPS mencatat terjadi 400 kasus narkotika di wilayah yang berbatasan langsung dengan daerah penyangga seperti Depok dan Tangerang Selatan ini.

Sementara di urutan kedua ada penipuan dengan 228 kasus. Kemudian pencurian dengan pemberatan 220 kasus serta kasus demonstrasi sebanyak 202. Lalu pencurian kendaraan bermotor 102 kasus dan penganiayaan berat 123 kasus.

Sisanya ada 2 kasus pembunuhan, perkosaan juga 2 kasus, penganiayaan ringan 21 kasus, penculikan 1 kasus, perusakan 7 kasus. Pencurian ringan 5 kasus, pencurian dengan kekerasan 25 kasus, pencurian biasa 93.

Sedangkan sepanjang 2020 kasus kriminalitas di Jakarta Timur mencapai 1.662. Perkara penipuan yang sering terjadi di wilayah ini dengan 500 kasus. Kemudian narkotika 376 kasus. Pencurian dengan pemberatan 175 kasus. Pencurian kendaraan bermotor 173 kasus.

Lalu 4 kasus pembunuhan, 3 kasus perkosaan, 116 kasus penganiayaan ringan, 55 kasus penganiayaan berat, 2 kasus penculikan, 22 kasus perusakan, 1 kasus pencurian ringan. Serta 20 kasus pencurian dengan kekerasan, pencurian dalam keluarga 1 kasus, pencurian biasa 118 kasus, dan demonstrasi 97 kasus.

Jakarta Pusat total kejahatan dan pelanggaran tahun 2020 mencapai 1.813. Terdiri dari pembunuhan 2 kasus, penganiayaan ringan 33 kasus, penganiayaan berat 88 kasus, perusakan 10, pencurian dengan pemberatan 152 kasus, pencurian dengan kekerasan 15 kasus, pencurian dalam keluarga 1 kasus, penipuan 220 kasus, pencurian kendaraan bermotor 60 kasus, pencurian biasa 70 kasus, narkotika 502 kasus dan demonstrasi 660 kasus.

Sedangkan di Jakarta Barat terdiri dari pembunuhan 2 kasus, perkosaan 2 kasus, penganiayaan ringan 1 kasus, penganiayaan berat 126 kasus, pembakaran dengan sengaja 2 kasus, pengrusakan 10, pencurian dengan pemberatan 175 kasus. Pencurian dengan kekerasan 79 kasus, pencurian dalam keluarga 1 kasus, penipuan 295 kasus, pencurian kendaraan bermotor 67 kasus, pencurian biasa 118 kasus, narkotika 577 kasus, demonstrasi 7 kasus.

Jakarta Utara kejahatan dan pelanggaran terdiri dari 2 kasus pembunuhan, perkosaan 3 kasus, penganiayaan berat 80 kasus, penculikan 1 kasus, pengrusakan 17 kasus, pencurian dengan pemberatan 179 kasus, pencurian ringan 1 kasus, pencurian dengan kekerasan 45 kasus, pencurian dalam keluarga 4 kasus, penipuan 286 kasus, pencurian kendaraan bermotor 139 kasus, pencurian biasa 89 kasus, narkotika 441 kasus, dan demonstrasi 27 kasus.

Jakarta Rumah Bagi Semua

Indahnya Toleransi di Jakarta

Merdeka.com 2021-06-21 02:27:00
Gereja Masehi Injil Sangihe Talaud Mahanaim dan Masjid Al Muqarrabien. ©2012 Merdeka.com

DKI Jakarta ibarat magnet. Sebagai ibu kota negara, banyak orang memilih daerah ini sebagai tempat peraduan nasib. Maka itu, tak heran bila ragam etnis, suku, agama mudah ditemukan di sini.

Tinggal di tengah keberagaman nyatanya tidak membuat penduduk Jakarta saling iri hati. Justru semangat membangun toleransi hadir sangat tinggi.

Salah satu potret toleransi antar umat beragama di Jakarta bisa terlihat jelas pada lokasi dua rumah ibadah ini. Masjid dan Gereja di kawasan Jl Enggano, Jakarta Utara ini hanya terpisah dinding.

Masjid Al Muqarrabien dan Gereja Masehi Injil Sangihe Talaud Mahanaim, dibangun sejumlah pelaut yang singgah di Tanjung Priok.

Saat merdeka.com berkunjung ke dua rumah ibadah itu pada tahun 2012 silam, warna bangunan tampak serasi. Masjid Al Muqarrabien berlantai dua dicat dengan warna merah, hijau, dan biru. Sementara gereja di sampingnya berdiri dengan warna cat putih dan merah.

Menurut Ketua Pengurus Masjid, Haji Tawakal, kalau dua bangunan yang didirikan selisih satu tahun tersebut di bangun oleh pelaut-pelaut yang singgah di Tanjung Priok.

"Kalau masjid dibangun pelaut muslim pada tahun 1958, bulannya kurang begitu jelas. Nah kalau gereja dibuat pelaut yang beragama Kristen yang dibangun setahun sebelumnya, tahun 1957," jelasnya kepada merdeka.com.

Selama ini, kata Tawakal, kedua belah pihak selalu menjalin komunikasi sangat erat. Sesuai nama Al Muqarrabien yang mengandung arti saling menghormati. Salah satu bentuknya, pemasangan suara pengeras mesjid yang dipasang agar tidak menganggu kegiatan ibadah gereja.

"Pengeras suara di Al Muqarrabien sengaja dipasang menghadap ke arah barat. Sedangkan bangunan gereja berada di sebelah timur. Itu suatu bentuk penghargaan dari pengurus masjid agar ketika adzan yang bersamaan dengan waktu ibadah di gereja ini, masing-masing bisa berjalan dengan khidmat," ujarnya.

Soal kerukunan itu juga diceritakan Pendeta Barakatih dari Gereja Masehi Injil Sangihe Talaud Mahanaim. Hubungan dua rumah ibadah itu diibaratkannya seperti 'kakak-beradik' yang saling mengasihi. Tidak pernah ada keributan selama 55 tahun masjid dan gereja itu berdiri berdampingan.

"Kita juga pernah bikin buka puasa bersama, bagi-bagi kolak ke warga yang kurang mampu. Kalau Natal sendiri, mereka juga menyediakan halaman untuk tempat parkiran, Jadi ada toleransi juga antar umat beragama, karena kita menganggap seperti saudara kandung," terangnya.

Ia juga menceritakan kisah kerusuhan pada tahun 1984 di Tanjung Priok, gereja tersebut akan diserang oleh sekelompok orang. Namun warga Muslim yang merupakan jemaah Masjid Al-Muqarrabien tersebut ikut melindungi jemaat.

"Ketika kerusuhan terjadi, jemaah Masjid menjaga gereja. Mereka juga mengatakan kepada sekelompok orang yang akan membakar gereja untuk membakar masjid terlebih dahulu jika mereka hendak membakar gereja. Jadi mereka yang jaga pada saat kerusuhan Tanjung Priok dulu," imbuhnya.

Hingga kini dua tempat ibadah tersebut masih berdiri kokoh. Kedua pihak berharap kalau bangunan tersebut mampu menjadi cagar budaya bagi Indonesia dalam memberikan contoh kerukunan umat beragama.

Potret toleransi dan kerukunan beragama juga bisa dilihat dari letak Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral yang tidak terlalu berjauhan. Bahkan untuk menunjukkan nilai-nilai kerukunan beragama di Indonesia, pemerintah sedang menyelesaikan proyek terowongan silaturahmi sedang dikerjakan dan ke depannya diharapkan menjadi ikon.

Terowongan Silaturahmi direncanakan memiliki panjang tunnel 28,3 meter, tinggi 3 meter, lebar 4,1 meter dengan total luas terowongan area tunnel 136 m2 dengan total luas shelter dan tunnel 226 m2. Jarak terdekat pintu masuk terowongan dengan Gereja Katedral yakni 32 m hal ini guna memastikan keamanan struktur Katedral. Sementara jarak terdekat terowongan dengan gerbang Masjid Istiqlal adalah 16 m.

Arsitektur entrance terowongan menyebut bangunannya akan dibangun dengan gaya modern di mana eksteriornya menggunakan material transparan sehingga kecantikan desain Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral yang merupakan bangunan cagar budaya tidak terhalang. Sementara untuk interiornya menggunakan material marmer serta dilengkapi dengan railing stainless sebagai simbol jabat tangan.

Terowongan ini juga dilengkapi dengan lift difabel untuk menunjang fungsi sebagai bangunan publik. Di samping sebagai ikon toleransi antar umat beragama, pembangunan terowongan ini berfungsi memudahkan akses jemaah antar bangunan rumah ibadah untuk memenuhi kebutuhan ruang parkir tanpa mengganggu arus lalu lintas.

Dalam pembangunan, Badan Pengelola Masjid Istiqlal dan Dewan Paroki Gereja Katedral dilibatkan dalam proses pembahasan bersama terkait konsep desain yang memperhatikan masing rumah ibadah agar mencirikan bentuk persatuan bukan perbedaan dalam bentuk desain, rencana pengelolaan dalam operasional Terowongan Silaturahmi nantinya, serta keselamatan masing masing bangunan rumah ibadah selama pengerjaan konstruksi agar tidak menimbulkan kerusakan terhadap bangunan eksisting.

Mengontrak di Kantor Gubernur Jakarta

Bermalam di Gedung Balai Kota DKI Jakarta

Merdeka.com 2021-06-21 00:58:55
Gedung Balai Kota DKI Jakarta. ©2014 merdeka.com/muhammad lutfhi rahman

Gedung Balai Kota DKI Jakarta. Begitulah namanya. Menjadi salah satu gedung megah di kawasan Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat.

Bangunan utama Gedung Balai Kota masih kental dengan peninggalan era kolonial. Sejumlah pilar masih berdiri kokoh. Kompleks pemerintahan dan tempat bekerja gubernur ini kian cantik dengan kolam air mancur tepat di depannya.

Gedung ini menjadi saksi sejarah. Bagaimana sebuah provinsi lahir dan menjadi ibu kota negara.

Di balik kemegahan gedung Balai Kota DKI Jakarta, tersimpan sebuah cerita. Tak banyak orang tahu. Tetapi sudah menjadi cerita lama bagi para penghuninya.

Bagi sebagian pegawainya, gedung Balai Kota bukan cuma tempat bekerja. Beberapa orang juga menjadikan sudut-sudut bangunan di sana sebagai tempat bermalam. Melepas lelah setelah seharian bekerja.

Seperti kisah Andri. Pekerja Harian Lepas (PHL) DKI Jakarta itu memanfaatkan sebuah gudang di Balai Kota DKI Jakarta sebagai tempat tinggal.

Di gudang tersebut terdapat lemari sebagai penyekat. Satu sisi dipakai untuk tidur. Di sisi lain digunakan untuk dapur. Ada juga lemari pendingin serta kompor listrik. Terkadang, ruangan gudang itu juga difungsikan sebagai musala.

Tidur di gudang memang tak senyaman rumah. Tak ada kasur empuk. Serba seadanya. Tetapi Andri tetap menikmatinya.

"Kalau tidur kasurnya memang ada kutu busuknya kan. Tapi ya dipaksain saja buat tidur," kata Andri.

Beberapa PHL lainnya memanfaatkan ruangan bawah gedung Blok G sebagai tempat mereka tidur. Tinggal di gedung itu sebenarnya sebuah keterpaksaan. Sebagai perantau, para PHL tak punya tempat tinggal di Jakarta. Demi menghemat pengeluaran mereka akhirnya menginap di Balai Kota.

Gudang milik Biro Umum DKI Jakarta itu ternyata telah lama menjadi tempat tinggal para perantau yang bekerja di Balai Kota. Kebanyakan dari mereka perantau dari luar Jabodetabek. Aktivitas ini telah berlangsung lebih dari 10 tahun.

Seperti cerita PHL, Achmad. Dia sempat menunjukkan gudang berpintu besi yang sudah cukup lama menjadi tempat tinggal karyawan perantau. Tidak hanya yang lajang saja, banyak juga rekan-rekannya yang sudah berkeluarga memilih tinggal di gudang.

Ruangan setinggi 2 meteran itu cukup untuk melepas lelah bekerja seharian. Di dalamnya ada kotak penyimpanan beralas karpet hijau yang dijadikan alas tidur. Ada sebuah mesin cuci dan lemari bekas. Ini menjadi fasilitas yang digunakan bersama.

"Mesin cuci, kasur bawa sendiri. Belinya patungan," ujarnya.

Pria paruh baya asal Serang, Banten ini sebenarnya tinggal di Bogor. Hanya sesekali dia menginap di Balai Kota. Sementara kawan-kawannya kebanyakan dari luar Jabodetabek. Salah satunya berasal dari Jawa Timur.

Sebagai sejawat PHL, mereka dikontrak selama setahun. Besaran upah sama dengan UMP DKI dan diterima setiap bulan. Mengingat terkadang keluarga ada yang tidak di kampung halaman mereka harus berhemat. Agar bisa bertahan hidup di Ibu Kota.

Surga Kecil di Jakarta

Jakarta dan Surga Kulinernya

Merdeka.com 2021-06-21 11:28:22
Foodstreet di Pulau Reklamasi. ©2019 Merdeka.com/Iqbal Nugroho

Jakarta punya segalanya. Begitulah kata orang-orang ketika berbicara tentang Ibu Kota negara ini.

Tidak cuma tempat mencari nafkah para pencari kerja. Jakarta juga memiliki banyak tempat wisata hingga ragam kuliner yang memanjakan perut.

Lokasi pusat kuliner ada di sejumlah titik. Untuk harganya bisa dipilih sesuai isi dompet anda. Jika siap membayar lebih, silakan memilih tempat makan di dalam gedung dengan ruangan pendingin. Tetapi bila ingin menikmati suasana lalu lintas ibu kota, Anda bisa memilih street food atau jajanan kaki lima.

Di lima kota Jakarta, rasanya masing-masing memiliki tempat kuliner yang sudah dikenal sejak lama. Di Jakarta Pusat misalnya. Surga kuliner dapat dengan mudah ditemukan di sepanjang Jalan Sabang. Di sana, ragam kudapan dapat dipilih mulai soto, seafood, nasi goreng dan masih banyak lagi. Makanan kaki lima ini dibuka pada malam hari.

Pekerja di sekitaran Jl Sabang banyak menjadikan tempat ini untuk melepas penat dan bersantai bersama kolega sebelum pulang ke rumah.

Salah satu pusat kuliner Jakarta lainnya adalah Taman Menteng, Jakarta Pusat. Berbagai jenis makanan juga tersaji di sana. Mampir ke Taman Menteng, selepas bekerja bersama teman atau keluarga bisa menjadi pilihan yang tepat untuk menghabiskan malam.

Di kawasan Jakarta Selatan, kawasan Blok M masih menjadi pilihan untuk mencari kudapan saat perut terasa lapar. Salah satu yang paling dicari adalah gultik atau gulai tikungan di Kawasan Blok M, Jakarta Selatan.

Sepiring nasi dengan irisan sapi dan dilengkap kuah santan yang gurih benar-benar menggugah selera. Terlebih Gulai sapi ini dijual dengan harga yang sangat terjangkau sehingga tak pernah sepi pembeli terlebih anak muda.

Makanan murah meriah ini hanya bisa dinikmati di malam hari. Pedagang mulai menggelar dagangan sekitar jam 19.00 WIB. Makanan sederhana di pinggir trotoar tak ada meja hanya ada bangku plastik tidak mengurangi rasa kenikmatan gultik ini.

Di Jakarta Utara, salah satu pusat kuliner terletak di Kawasan Pantai Maju, Jakarta Utara. Di sana, pengunjung yang santap kuliner di buat nyaman dengan suasana terang benderang lampu-lampu yang digantungkan. Di bagian pintu masuk pengunjung disambut dengan tulisan 'FOOD STREET KAWASAN PANTAI MAJU'.

Terdapat lebih dari 30 kios di sana dengan beragam menu. Harganya cukup bersaing. Untuk berbagai jenis minuman Rp 13.000 - Rp 20.000. Sedangkan harga makan sekitar Rp 30.000 - Rp 50.000. Semua hidangan itu terjadi di Food Street.

Para pengunjung makin dimanjakan dengan hadirnya pertunjukan musik. Tempat ini menjadi destinasi baru bagi warga Jakarta Utara menikmati makan di tengah pulau buatan.

Pusat kuliner lainnya di Jakarta Utara ada di kawasan Ancol. Berdekatan dengan laut membuat banyak pemilik bisnis kuliner menawarkan makanan berbahan dasar seafood.

Seperti di Bandar Djakarta, kawasan Ancol. Restoran ini menyajikan aneka olahan seafood yang enak dan lezat.

Restoran ini ramai dikunjungi oleh wisatawan karena letaknya yang masih satu kawasan dengan Taman Impian Jaya Ancol.