Janji Jokowi untuk menghapus subsidi BBM tampaknya tidak akan pernah benar-benar terwujud. Di tengah lonjakan harga minyak dunia, angka subsidi tahun ini diprediksi akan menjadi yang tertinggi di era pemerintahan Jokowi sejak 2015. Upaya pembatasan dan pengaturan selama ini tidak efektif.
Di APBN 2022, pemerintah awalnya mengalokasikan sebesar Rp134 triliun untuk subsidi energi. Dari jumlah itu, sebanyak Rp77,5 triliun digunakan untuk subsidi BBM dan elpiji. Sisanya untuk subsidi listrik.
Namun situasi berubah ketika invasi Rusia ke Ukraina berimbas pada kenaikan komoditas energi di pasar dunia. Saat rapat pada 19 Mei lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan tambahan Rp74,9 triliun untuk subsidi energi kepada Badan Anggaran DPR. Tambahan anggaran subsidi itu untuk mencegah kenaikan harga BBM, elpiji, dan tarif listrik.
Rinciannya, tambahan untuk subsidi BBM dan elpiji sebesar Rp71,8 triliun dan Rp3,1 triliun untuk subsidi listrik. Dengan tambahan itu, total anggaran membuat biaya negara untuk subsidi energi tahun ini menjadi Rp 208,9 triliun. Jika jumlah itu terealisasi sepenuhnya, angka itu akan menjadi yang tertinggi sepanjang periode pemerintahan Presiden Joko Widodo. Berdasarkan data APBN dari 2015, realisasi subsidi energi tertinggi di masa kepresidenan Jokowi terjadi pada 2018, yakni Rp 153,5 triliun.
Janji Kampanye Jokowi
Saat menjadi calon presiden di 2014, Jokowi menyampaikan dalam empat tahun pertama kepemimpinannya, akan menghapus subsidi BBM secara bertahap dan mengalihkannya untuk pembangunan infrastruktur.
Presiden Jokowi menjelaskan kebijakan menghapus subsidi BBM, khususnya Premium, merupakan upaya pemerintah memperbaiki kesalahan masa lalu dengan mengalihkan subsidi BBM yang nilainya mencapai Rp 300 triliun per tahun.
"Saya kira empat tahun lah, subsidi BBM tadi empat tahun tapi berjenjang. Kurang, kurang, lalu hilang," ujarnya di sela-sela Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional, di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu 30 April 2014.
Delapan tahun berselang, janji itu belum terwujud sepenuhnya. Bahkan Jokowi kini mengeluhkan angka subsidi terus membengkak. Saat berpidato di acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDIP di Lenteng Agung, Jakarta, Selasa (21/6), Jokowi mengaku pemerintah menghadapi tantangan berat untuk menjaga beban subsidi energi yang semakin besar hingga akhir 2022 karena gejolak harga minyak mentah.
"Sampai kapan kita bisa bertahan dengan subsidi sebesar ini? Kalau kita tidak mengerti angka-angka kita tidak akan merasakan betapa sangat besar persoalan saat ini," ucap Jokowi.
Pilihan untuk menaikkan lagi harga BBM, lanjut Jokowi, sulit dilakukan pemerintah karena akan menambah beban rakyat. Meski begitu, rakyat juga harus diberitahu bahwa ada kondisi global yang sangat berat yang dihadapi pemerintah.
Sebagai perbandingan, harga BBM di Indonesia dipertahankan di kisaran Rp12.500 sampai Rp13.000 untuk Pertamax dan Rp7.650 untuk Pertalite. Jokowi mencontohkan, harga BBM di Singapura sudah menyentuh di angka Rp31.682, Jerman Rp31.390, Thailand Rp20.878 dan Amerika Serikat Rp17.374.
"Tidak mungkin kita tidak subsidi. Akan ramai nanti. Juga hitung-hitungan sosial politiknya juga kita kalkulasi," tuturnya.
Jokowi menambahkan, besarnya angka subsidi energi yang dikeluarkan pemerintah tahun ini melampaui kebutuhan biaya untuk membangun Ibu Kota Negara (IKN) yang dipatok sebesar Rp446 triliun. "Subsidi kita besar sekali, bisa dipakai untuk membangun Ibu Kota satu karena angkanya sudah Rp502,4 triliun. Itu semua harus kita mengerti," ujarnya.
Keluhan Presiden Jokowi itu ditanggapi anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS, Mulyanto. Dia meminta pemerintah bekerja lebih cermat dengan melakukan efisiensi, termasuk menghentikan dulu proyek-proyek ambisius seperti pembangunan Ibu Kota Negara baru.
"Yang perlu dilakukan pemerintah sekarang adalah serius melaksanakan efisiensi pengelolaan energi nasional. Karena sekarang ini bukan kondisi normal, sehingga Pemerintah dan jajaran birokrasi dari pusat sampai daerah harus menyadari turbulensi ekonomi di tahun politik ini," kata Mulyanto yang dihubungi merdeka.com.
Mulyanto meminta pemerintah menggenjot lagi pendapatan terutama dari kenaikan penerimaan ekspor atas harga komoditas yang naik. Windfall profit, jangan sampai hanya dinikmati oleh kalangan pengusaha eksportir saja.
Dia menyarankan, pemerintah menghitung peluang bagi kenaikan bea keluar, pajak ekspor untuk komoditas-komoditas seperti batubara, tembaga, nikel, CPO dan turunannya. "Sisi penerimaan ini harus digenjot, tidak boleh disikapi biasa-biasa saja oleh Pemerintah," tegasnya.
Mulyanto menyoroti sisi penghematan pengeluaran dengan menghentikan pembangunan infrastruktur yang kurang penting dan mendesak seperti IKN (Ibu Kota Negara) baru dan infrastruktur lainnya.
"Kita tunda saja proyek-proyek ini sampai kondisi ekonomi membaik pasca Pemilu setelah rezim berganti. Ini adalah pilihan yang rasional. Pemerintah jangan memaksakan diri untuk membangun proyek-proyek ini," pesannya.
Gagalnya Proyek RFID
Ratna Dewi (39) ingat betul saat warga di kompleksnya yang memiliki mobil diminta berkumpul di lapangan. Saat itu, sekitar akhir 2013, muncul rencana pembatasan penggunaan BBM jenis premium. Setiap mobil wajib dipasang alat seperti gelang di lubang pengisian tangki BBM.
"Mobil saya waktu itu dipasang alat namanya RFID (Radio Frequency Identification), gratis. Kata Pak RT, alat itu untuk memantau berapa banyak BBM subsidi yang dipakai oleh setiap mobil," tutur warga Depok itu saat berbincang dengan merdeka.com.
Setelah pemasangan alat RFID, Ratna mengaku tidak mendapatkan penjelasan lagi dari petugas dan ketua RT. Dia juga tidak mengetahui bagaimana mekanisme pengawasan saat itu. Dia hanya diminta mengisi formulir data pribadi dan pelat nomor kendaraannya.
"Saya mengisi BBM premium di SPBU biasa-biasa aja. Tidak ada permintaan data atau harus mengisi formulir khusus," ujarnya. Hingga mobilnya dijual beberapa tahun lalu, Ratna mengaku tidak mengetahui fungsi RFID.
Padahal, RFID merupakan bagian dari Sistem Monitoring dan Pengendalian Bahan Bakar Minyak (SMPBBM) yang dijalankan pemerintah mulai 2013. PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) ditunjuk sebagai perusahaan yang menyiapkan infrastruktur SMPBBM.
Cara kerja RFID yang dirancang saat itu adalah, data pemilik mobil dicatat ke dalam sistem berdasarkan STNK. Setiap satu nama yang tercatat akan mendapatkan gelang RFID yang sebelumnya sudah diprogram sesuai jenis dan kategori kendaraan menggunakan RFID Programmer. Setiap gelang RFID mewakili satu profil pemilik dan kendaraannya yang tidak bisa saling tukar. Karena jika ditukar maka datanya akan berubah.
Pemasangan gelang di mulut tangki bertujuan agar saat mengisi BBM, RFID reader yang dipasang di nozel dispenser bahan bakar di SPBU bisa mendata. RFID reader akan menolak mengeluarkan bensin jenis premium jika program pada gelang RFID di kendaraan sudah diseting tidak boleh mengonsumsi bahan bakar bersubsidi.
Data yang dibaca oleh RFID reader terhubung pada HMI monitor yang diletakan di dispenser SPBU. Dari monitor itu bisa diketahui, data kendaraan hingga jumlah dan jenis bahan bakar yang dibeli. Sistem akan menunjukkan berapa banyak kuota bahan bakar bersubsidi yang masih bisa dibeli.
Data-data dari tiap SPBU itu kemudian dikirim ke data center yang datanya bisa diakses oleh pusat monitoring nasional. Dari data tersebut, pemerintah mendapatkan data konsumsi bahan bakar secara akurat di seluruh Indonesia. Proyek ini seharusnya dijalankan oleh Pertamina dan PT INTI mulai 2013-2018 dengan target 100 juta kendaraan. Namun pada pada 2016, pemasangan RFID dihentikan setelah pemerintah mengubah kebijakan untuk BBM jenis premium.
Subsidi Salah Sasaran dan MyPertamina
Pada Maret 2022 lalu, pemerintah secara resmi menetapkan jenis bensin research octane number (RON) 90 dengan nama dagang Pertalite menjadi Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP) menggantikan bensin RON 88 atau Premium. Penetapan ini tercantum dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan.
"Bensin RON 90 ditetapkan sebagai JBKP berdasarkan Kepmen ESDM No 37.K/HK.02/MEM.M/2022 yang ditandatangani 10 Maret 2022 tentang JBKP," kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR, Selasa (29/3).
Kuota JBKP bensin RON 90 atau jenis Pertalite pada tahun ini ditetapkan sebesar 23,05 juta kilo liter. Sementara realisasi penyaluran JBKP Pertalite sampai dengan bulan Februari 2022 sebesar 4,258 juta kilo liter atau melebihi kuota Februari secara year to date.
"Jika diestimasikan melalui normal skenario, maka di akhir 2022 akan terjadi over kuota sebesar 15% dari kuota normal," kata Tutuka.
Perubahan ini membuat peralihan konsumsi BBM. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat, konsumsi Pertalite hampir 80 persen di antara BBM jenis bensin lainnya seperti Pertamax, Pertamax Turbo dan Premium.
"Pertalite paling banyak dikonsumsi masyarakat, porsi konsumsi Pertalite sekitar 79%. Itu berdasarkan realisasi tahun 2021. Keberadaan Pertalite saat ini menjadi paling penting karena menjadi tulang punggung BBM bagi masyarakat," ungkap Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi, Maret lalu.
Menurut Agung, konsumsi Pertalite makin meningkat tiap tahun. Tahun 2017 hingga tahun 2021 konsumsi Pertalite berturut-turut sekitar 14,5 juta KL, 17,7 juta KL, 19,4 juta KL, 18,1 juta KL dan 23 juta KL. "Tahun 2020 konsumsi Pertalite turun karena pandemi Covid-19. Namun, tahun 2021 konsumsinya meningkat lagi hingga 23 juta KL. Sedangkan tahun ini diproyeksikan pada kisaran 23 juta KL," jelasnya.
Melonjaknya harga minyak dunia membuat jumlah subsidi terhadap Pertalite dan solar meningkat. Upaya pembatasan kini akan kembali diberlakukan. PT Pertamina mengumumkan aplikasi MyPertamina akan dipakai sebagai cara untuk membatasi penggunaan BBM bersubsidi.
Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Alfian Nasution mengatakan, pihaknya berinisiatif dan berinovasi untuk melakukan uji coba penyaluran Pertalite dan solar bagi pengguna berhak yang sudah terdaftar di dalam sistem MyPertamina mulai 1 Juli 2022. Aplikasi MyPertamina akan menjadi syarat untuk membeli Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite dan Solar. Pertamina ingin penyaluran subsidi bisa tepat sasaran.
"Kami menyiapkan website MyPertamina, yakni https://subsiditepat.mypertamina.id/ yang dibuka pada 1 Juli 2022," kata Alfian, Selasa (28/6).
Pertamina menjelaskan bahwa masyarakat yang merasa berhak menggunakan Pertalite dan Solar dapat mendaftarkan datanya melalui laman tersebut untuk kemudian menunggu apakah kendaraan dan identitasnya terkonfirmasi sebagai pengguna yang terdaftar. Sistem MyPertamina akan membantu perseroan dalam melakukan pencocokan data pengguna yang akan membeli BBM bersubsidi Pertalite dan Solar.
Dalam situs MyPertamina dijelaskan, pendaftaran baru akan dibuka pada tanggal 1 Juli 2022. Implementasi Tahap 1 dilaksanakan di 11 wilayah yakni Kota Bukit Tinggi, Kabupaten Agam, Kota Padang Panjang, Kab. Tanah Datar, Kota Banjarmasin, Kota Bandung, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kota Manado, Kota Yogyakarta, dan Kota Sukabumi.
Bagaimana teknis pelaksanaannya, hingga kini Pertamina belum menjelaskan detailnya. Penjelasan yang diberikan hanya untuk konsumen biosolar subsidi sesuai lampiran Perpres No 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Sementara untuk konsumen Pertalite, masih menunggu revisi perpres.
Irto Ginting, Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga mengungkapkan, tahap pertama adalah registrasi pengguna sambil menunggu revisi Perpres 191/2014. Kriteria penerima disesuaikan dengan ketentuan dari Pemerintah.
Dia mengakui, kriteria untuk pengguna Pertalite hingga kini belum diputuskan pemerintah. Sedangkan untuk untuk solar masih berlaku Perpres 191/2014.
"Pendaftaran nanti melalui web MyPertamina, data diri dan kendaraan akan didaftarkan. Verifikasi tentunya akan dikoordinasikan dengan pihak regulator," ujarnya.
Pengawasan Pelaksanaan MyPertamina
Menghapus subsidi BBM dinilai sebagai langkah yang tidak akan dilakukan oleh siapapun pemerintah yang berkuasa. Apapun kebijakan yang diambil untuk membatasi penggunaan BBM bersubsidi tidak akan berhasil tanpa pengawasan di lapangan.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar Bambang Patijaya menyatakan pemerintah tidak punya pilihan selain tetap melanjutkan subsidi BBM.
"Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu memang harus dirasakan dengan situasi sulit ini, negara hadir memberikan perhatian. Harus ada keadilan sosial," ujarnya kepada merdeka.com.
Dia mendukung langkah pemerintah yang kini akan menggunakan aplikasi MyPertamina. Namun dalam pandangan Bambang, pelaksanaannya akan terhambat pada kemampuan masyarakat.
"Yang menjadi tantangan kita bagaimana go digital. Masyarakat kita ini memang sudah menuju pada era 4.0, tapi kan tahu sendiri, belum semua lapisan masyarakat mengerti. Dari penggunaannya, kemudian kemahiran dan sebagainya. Jadi memang ini menjadi tantangan," ujarnya.
Pembatasan penggunaan BBM bersubsidi sebenarnya bisa dilakukan oleh masing-masing pemerintah daerah. Bambang mencontohkan di daerah pemilihannya di Bangka Belitung. Sejak dua tahun yang lalu, pemerintah provinsi menerapkan aplikasi fuel card. Penggunanya adalah truk, dump truk, angkutan logistik dan sebagainya. Dengan aplikasi ini, para sopir punya kepastian mendapatkan BBM di SPBU.
Aplikasi ini, lanjut Bambang, berhasil mencegah penyelewengan dari pembeli yang akan menjual BBM subsidi ke pihak lain dengan memanfaatkan selisih yang cukup besar. "Istilahnya ngerit. Dia ngerit itu pura-pura sebagai pembeli, nanti dikuras, dijual ke sektor lain. Selisih harganya tinggi tuh. Mereka mengambil keuntungan dari situ, nah itu yang dihindari," jelasnya.
Bambang berharap, jika penggunaan aplikasi MyPertamina diterapkan, pihak Pertamina lebih gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Apa saja manfaat aplikasi ini dan tujuan aplikasi ini untuk apa, agar masyarakat mengerti.
"Suatu aplikasi itu akan bermanfaat dan applicable jika memang disosialisasikan dengan baik dan kemudian memang dipakai. Jadi bukan hanya promosi-promosi aja," pungkasnya.
Baca juga:
Berhitung Isi Kantong Karena Harga BBM
Semua Mobil Pelat Hitam Bakal Dilarang Gunakan Solar Subsidi, Kecuali Bak Terbuka
Beli Pertalite dan Solar Pakai MyPertamina Tetap Bisa Bayar Pakai Uang Tunai
Subsidi dan Kompensasi Sektor Energi Capai Rp502 Triliun di 2022, Ini Rinciannya
Pakai MyPertamina, Beli Solar Subsidi dan Pertalite Bakal Dibatasi per Harinya
BPH Migas: Jika Tak Dibatasi, Solar Subsidi Habis di Oktober 2022
Reporter: Ronald